STARJOGJA.COM, LIFESTYLE – ‘Sharenting’ menjadi kegiatan yang semakin populer di kalangan orang tua yang tergolong generasi Milenial. Namun sejumlah pakar perlindungan anak mengingatkan, kegiatan digital ini memiliki banyak risiko dan bukan tidak mungkin menempatkan anak dalam bahaya.
Percaya atau tidak, salah satu bahaya yang mungkin dihadapi anak-anak di media sosial berasal dari sumber yang tidak terduga: orang tua mereka.
Bagaimana tidak? Sebagai orang tua, Anda mungkin ingin berbagi momen-momen bahagia, membanggakan, lucu, atau menggemaskan terkait anak di media sosial (medsos), dalam bentuk foto, video, atau mungkin status terbaru. Tujuannya pada umumnya baik, seperti ingin menunjukkan bagaimana cara Anda membesarkan anak, atau agar anak Anda diapresiasi secara luas dan meraih ketenaran sebagai influencer, selebgram, atau YouTuber.
Banyak pakar sosial mengistilahkan kegiatan itu sebagai sharenting – kependekan dari sharing (berbagi) dan parenting (mengasuh anak). Sharenting berkonotasi negatif karena umumnya merujuk pada kegiatan orang tua berbagi informasi secara berlebihan di dunia maya tentang anak-anak mereka.
“Banyak orang tua mungkin tidak mengetahui sharenting sebagai kegiatan yang bisa mengundang bahaya. Padahal men-share banyak foto di medsos itu menawarkan banyak risiko,” kata Hanifah Atmi Nurmala dari Komite Edukasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).
Singkatnya, kata Hanifah. yang Anda lakukan bisa membuat keselamatan dan privasi anak terancam.
Perempuan aktivis yang terdaftar sebagai pengajar di SMA Negeri Plontos Jombang, Jawa Timur, itu mencontohkan orang tua yang memposting foto atau video yang menunjukkan warna kulit anak yang gelap sewaktu kecil. Si orang tua tidak bermaksud buruk, namun bukan tidak mungkin di kemudian hari saat beranjak dewasa, si anak diolok-olok atau di-bully sebagai si ireng, si hitam atau si Ambon karena foto atau video itu.
Kemungkinan lainnya, foto-foto masa kecil yang tidak pantas dapat digunakan untuk merusak peluang karier di masa depan. Misalnya, foto-foto konyol masa kecil dapat muncul kembali suatu hari nanti ketika mereka mencalonkan diri untuk jabatan politik. Bukan tidak mungkin, katanya, foto-foto itu digunakan dalam iklan politik oleh pihak oposisi untuk menjatuhkannya.
“Kalau punya jejak digital yang buruk, jangan coba-coba nyalon (mencalonkan diri, red) di dunia politik, karena itu (foto-foto), bisa jadi intrik,” ujar Hanifah mengingatkan.
“Prospek yang lebih menyeramkan adalah kemungkinan bahwa foto yang diunggah oleh orang tua dapat menarik perhatian para penjahat. Misalnya, gambar atau video anak-anak dapat diambil dari akun orang tua mereka dan di-posting kembali di situs-situs pedofil,” kata Hanifah.
Rita Pranawati, advokat hak anak yang pernah menjabat sebagai komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), membenarkan adanya bahaya yang ditimbulkan sharenting. Ia sendiri tidak melarang aktivitas itu, namun menganjurkan kehati-hatian.
“Sebenarnya kalau tujuannya positif tidak apa-apa, namun harus menjaga kehati-hatian, terutama identitas dan hanya memposting visual yang normal,” katanya. “Artinya, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi prioritas.”
Edward Dewaruci, seorang pengacara yang aktif mengadvokasi hak-hak anak, mengingatkan, informasi yang diposting orang tua, seperti nama sekolah anak-anak mereka atau foto halte bus, dapat memberikan informasi yang dapat digunakan oleh predator untuk melacak mereka secara offline.
Pria yang saat ini tercatat sebagai salah seorang pembina di Surabaya Children Crisis Center, sebuah lembaga bantuan hukum di Surabaya yang berfokus pada perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum– mengatakan, kemajuan teknologi geo-tagging memungkinkan foto atau video yang diunggah di medsos mengungkap informasi mengenai lokasi rumah, sekolah, tempat penitipan anak, atau lokasi bermain anak. Informasi seperti itu, kata Edward, membuka kemungkinan anak menjadi korban perdagangan atau pencurian identitas, atau bahkan penculikan.
SUMBER : VOA Indonesia
Comments