FeaturePendidikan

Pendidikan Karakter Wujudkan Manusia Unggul dan Berbudaya

0
kondisi fisik
Ilustrasi Dunia Pendidikan (ist)

STARJOGJA.COM, Pendidikan – Hari pendidikan nasional yang selalu kita peringati pada tanggal 2 Mei menandakan betapa pentingya arti pendidikan bagi bangsa Indonesia. Perayaan tersebut menjadi pit stop untuk koreksi dan instrospeksi atas keberlangsungan pendidikan yang sudah dan sedang berjalan. Dari situlah senantiasa ditemukan benang merah berupa kesadaran bahwa kualitas suatu bangsa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kebudayaan. Dua hal tersebut merupakan ‘industri mulia’ yang keberadaannya harus senantiasa dirawat dan ditingkatkan.

Dunia pendidikan saat ini dihadapkan pada tantangan globaslisasi yang berjalan begitu cepat. Globalisasi memberikan peluang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pekerjaan manusia dapat terbantu dengan temuan teknologi canggih, yang jauh lebih efektif. Namun, di sisi lain, gejala globalisasi juga berdampak pada ruang sosial budaya dan pendidikan. Kemajuan manusia di bidang iptek terkadang tidak selalu sebanding dengan peningkatan kualitas moral. Di sinilah dua tantangan besar dunia pendidikan, satu sisi harus menyiapkan generasi yang siap berkompetisi dalam kancah global, sisi lain juga tetap memperhatikan pondasi moral sebagai cerminan dari kepribadian bangsa.

Salah satu ikhtiar untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus menguatkan budaya bangsa ialah memperteguh pendidikan karakter berbasis MBS (moral, budaya, dan skills) menjadi satu kesatuan yang utuh, persisten dan evaluatif. Narasi ketiganya diharapkan mampu melahirkan generasi unggul dan berbudaya.

Baca Juga : Orang Tua Siswa Harus Berperan dalam Pendidikan

Pendidikan Moral

Seperti yang telah banyak diberitakan di media, degradasi moral masih mengancam generasi bangsa. Mulai dari kasus kekerasan seksual, tawuran, penyalahgunaan Napza bahkan baru-baru ini viral di media sosial peristiwa perilaku amoral yang dilakukan oleh salah satu siswa kepada gurunya di dalam kelas. Perilaku negatif tersebut ditengarai bukan saja karena salah pergaulan tapi juga akibat dari pengaruh internet.

Hasil penelitian UNICEF bersama Kementerian Kominfo dan Universitas Harvard AS menyebutkan 98 persen anak-anak dan remaja di Indonesia mengetahui tentang penggunaan internet. Hampir semua diantara mereka tidak setuju terhadap konten pornografi di internet. Namun, sebagian besar diantara mereka telah terekspos dengan konten pornografi. Hal tersebut tentu memberikan dampak yang luar biasa besar bagi perilaku remaja.

Kepungan informasi negatif yang tersebar secara bebas melalui dunia digital menjadikan generasi bangsa mengalami kehampaan dalam memaknai kehidupan. Noeng Mohadjir menekankan bahwa masyarakat manusia dapat survive karena adanya komitmen pada nilai-nilai moral dan agama. Jika masyarakat abai terhadap nilai tersebut diyakini akan berdampak pada hancurnya tatanan suatu masyarakat.

Krisis moral mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran moral dalam diri generasi bangsa masih rendah. Pekerjaan rumah untuk membenahi kasus demi kasus amoral masih banyak yang musti diselesaikan segera. Oleh sebab itu, pendidikan moral menjadi garda terdepan dalam membentengi dan menyiapkan siswa-siswa terdidik yang sanggup mengaplikasikan keilmuan dalam hidup bersosial. John Locke berpandangan bahwa proses internalisasi nilai-nilai moral perlu diupayakan sebab manusia memiliki otoritas moral. Artinya, manusia dengan pilihan yang dimiliki bebas melakukan beragam tindakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan pendidikan moral. Melalui proses pendidikan, nilai-nilai moral atau budi pekerti dapat ditanamkan dalam diri generasi bangsa. Titik tekan pendidikan moral dilandaskan atas budaya bangsa yang tercermin dalam nilai-nilai pancasila.

Penguatan Budaya

Globalisasi berjalan sangat cepat menimbulkan pergeseran dan gesekan-gesekan pada aspek sosial. Masyarakat lokal yang tidak siap dengan pengaruh global, cepat atau lambat akan meninggalkan budaya lokal. Padahal, Indonesia, negeri yang kita cintai ini memiliki kekayaan budaya yang tercermin dalam beragam kearifan lokal yang luar biasa melimpah. Kearifan lokal yang terdapat di nusantara diajarkan secara turun-temurun, diwariskan dari generasi ke generasi dan diwujudkan diantaranya yang terdapat dalam bahasa, sastra, seni arsitektur, dan adat istiadat. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya merupakan kepribadian asli bangsa Indonesia. Kearifan lokal mengajarkan untuk ramah-tamah, bergotong-royong, toleransi, rela berkorban, dan memiliki etos kerja yang tinggi. Nilai-nilai itu harus senantiasa melekat dalam kehidupan bangsa.

Institusi pendidikan menjadi faktor penting dalam upaya melestarikan budaya bangsa. Bahkan akan menjadi baik bila setiap peserta didik diwajibkan menguasai budaya lokal sebagai salah satu syarat kelulusan. Hal ini menjadi sangat penting, sebab dewasa ini, pewaris negeri cenderung abai terhadap budaya dan justru familier dengan budaya asing. Integrasi nilai budaya ke dalam kurikulum sekolah hendaknya dilaksanakan secara berkesinambungan, mulai dari materi pelajaran, pengadaan hari budaya, dukungan lomba-lomba bahkan hingga ujian kelulusan. Khusus untuk syarat kelulusan, ia harus benar-benar dikuasai siswa yang dibuktikan dengan mengikuti ujian kebudayaan. Implementasinya dapat dilakukan dengan cara lebih inovatif, misalnya dapat bertajuk integrasi budaya dengan perkembangan teknologi.

Sebuah kata mutiara mengingatkan kita bahwa “Suatu bangsa yang meningggalkan budaya, maka sejatinya negerinya telah punah dari peradaban.”

Oleh sebab itu, komitmen untuk menjaga serta melestarikannya mutlak untuk dilaksanakan. Melalui pendidikan, bangsa ini akan semakin mengokohkan jati dirinya dengan melestarikan budaya lokal namun tetap tidak apatis dengan dunia luar.

Penguasaan Skill

Era revolusi teknologi seperti sekarang ini, setiap bangsa berlomba untuk memenangkan persaingan. Bekal untuk meraihnya diperlukan kualitas sumber daya manusia yang unggul/berkualitas agar dapat memiliki daya saing atau daya tawar yang tinggi di kancah global. Oleh karena itu, skill 4C (critical thinking, creativity, collaboration, communication) dan 1L (literasi) menjadi perpaduan yang sempurna dalam upaya peningkatan kompetensi melalui institusi pendidikan.

Masyarakat modern semakin meyadari pentinganya pemanfataan bahasa sebagai eksistensi diri sekaligus penunjang kesuksesan. Bahasa dalam konteks ini ialah kemahiran berkomunikasi (communication) baik dengan sesama anak bangsa maupun dengan relasi internasional. Selain itu, kemampuan berbahasa juga memungkinkan untuk mengetahui pengetahuan-pengetahuan atau ilmu yang berkembang di berbagai negara. Oleh karena itu, tuntutan utuk menguasai bahasa asing (internasional) mutlak diperlukan.

Generasi bangsa yang terdidik dan tercerahkan wajib memiliki kemampuan berkolaborasi. Perwujudan kolaborasi dapat diasah dengan cara mengikuti kegiatan kepanduan, PMR, atau OSIS. Pentingnya berkolaborasi (collaboration) karena memiliki banyak nilai-nilai positif, diantaranya meingkatkan efisiensi kerja dalam sebuah tim, mendapatkan ide baru, memiliki jaringan luas, dan kemudahan berkomunikasi.

Kemampuan berfikir kritis (critical thinking) diperlukan untuk memcahkan masalah dan meperlancar paradigma dalam proses memahami suatu permasalahan. Skill berpikir kritis melahirkan generasi kreatif. Pendekatan kreativitas dalam sistem pendidikan melahirkan generasi yang cakap, luwes dan mandiri. Era revolusi industri 4.0 membawa seseorang ke dalam dunia ketidakpastian, mudah berubah dalam waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti, oleh karena itu, skill kreatif (creativity) perlu terus diasah.

Survei PISA pada tahun 2015 menempatkan posisi Indonesia pada posisi rendah walau mengalami kenaikan. Berdasarkan nilai rerata, terjadi peningkatan nilai PISA Indonesia di tiga kompetensi. Peningkatan terbesar terlihat pada kompetensi sains, dari 382 poin pada tahun 2012 menjadi 403 poin di tahun 2015. Kompetensi matematika meningkat dari 375 poin di tahun 2012 menjadi 386 poin di tahun 2015. Kompetensi membaca belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, dari 396 di tahun 2012 menjadi 397 poin di tahun 2015.

Peningkatan tersebut mengangkat posisi Indonesia 6 peringkat ke atas bila dibandingkan posisi peringkat kedua dari bawah pada tahun 2012. Data-data tersebut menunjukkan tingkat kompetensi siswa Indonesia masih rendah dan tertinggal dari negara lain. Melihat keadaan demikian, maka Program Gerakan Literasi Sekolah yang dicanangkan pemerintah perlu dioptimalkan. Sebab penguasaan literasi merupakan indikator kualitas sumber daya manusia. Tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi kecuali hanya dengan membudayakan giat literasi. Literasi dasar seperti baca, tulis, hitung, sains ditingkatkan sehingga benar-benar dapat dikuasai. Selain itu, beberapa literasi keahlian khusus, misalnya literasi teknologi juga perlu ditingkatkan.

Akhirnya meminjam istilah Buya Hamka, mendidik generasi dalam bingkai pendidikan dan kebudayaan tak ubahnya seperti seorang penambang yang berhasil membuat mutiara yang sangat berkilau indah. Konsep MBS (moral, budaya, dan skills) akan melahirkan mutiara-mutiara indah nan menawan, melahirkan putera-puteri bangsa yang berkarakter unggul dan berbudaya, siap bersaing di kancah global namun tetap membumikan nilai-nilai budaya bangsa.

 Moh. Aris Prasetiyanto, M.Pd
Praktisi Pendidikan
Peneliti Pendidikan Bahasa dan Analisis Wacana Kritis

Menkeu Minta Camat Awasi Penggunaan Dana Desa

Previous article

Dua Korban Longsor Imogiri Berhasil Dievakuasi

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Feature