STARJOGJA.COM, Info – Artificial Intelligence (AI) yang tengah berkembang di berbagai teknologi membuat anak muda menggunakannya termasuk ruang curhat. Sebelumnya, ruang curhat ini tersedia di teman, keluarga atau profesional kini anak muda justru memilih AI untuk curhat.
Psikolog klinis remaja dan keluarga, Istiana Tajuddin, menjelaskan mengapa fenomena ini bisa terjadi, salah satu faktor terbesar adalah tingginya kesadaran akan privasi.
“Anak-anak muda sekarang lebih individualis, mereka sangat mengutamakan privasi. AI dianggap lebih aman, seperti safe space,” ujarnya dikutip dari Bisnis Senin (22/12/2025).
Ketika mereka berbagi dengan AI, ada keyakinan bahwa tidak ada risiko cerita itu bocor atau dihakimi.
Apalagi jika masalah yang dibahas bersifat sensitif. Berbeda dengan berbagi kepada teman, yang bagi sebagian anak muda belum tentu mampu menjaga kerahasiaan atau memberikan respon yang tepat.
Namun di balik rasa aman itu, Istiana menegaskan bahwa AI tetaplah mesin yang bekerja berdasarkan pola dan data yang diberikan pengguna. AI tidak bisa memahami konteks secara utuh dan cara kerjanya bergantung pada prompting.
“Kalau dari awal AI dilatih dengan informasi yang tidak tepat, atau kita mengajukan pertanyaan sensitif tanpa pemahaman, arahannya bisa melenceng,” jelasnya.
AI mungkin memberikan alternatif jawaban yang terdengar masuk akal tetapi sesungguhnya tidak relevan atau tidak aman.
Terlebih jika yang digunakan adalah layanan AI gratis yang tidak memiliki sistem keamanan seketat versi profesional. Di sisi lain, keberadaan fitur-fitur emosional seperti emoji, kata-kata dukungan, atau respons yang terdengar hangat, dapat membuat anak muda mengembangkan emotional dependency pada AI.
“Walaupun AI itu tidak punya emosi, umpan baliknya bisa bikin manusia baper. Kalau mereka merasa AI lebih mengerti dibanding teman-temannya, itu berisiko,” kata Istiana.
Ketika seseorang lebih percaya pada mesin daripada manusia, kemampuan membangun koneksi sosial dan komunikasi emosional di dunia nyata bisa terhambat.
Hubungan terapeutik atau therapeutic alliance yang penting dalam proses konseling pun tidak dapat muncul melalui interaksi dengan AI. Tak dapat dipungkiri, AI memang sudah menjadi bagian dari hidup kita.
Namun, ini bukan berarti keberadaannya bisa menggantikan tenaga profesional kesehatan mental. Istiana menyarankan, psikolog untuk mempelajari dan memahami cara kerja teknologi ini agar mampu mengedukasi klien tentang batasannya.
“Menurut saya, profesional justru harus mengikuti perubahan, tapi paham batasan. Seperti pisau, AI bisa bermanfaat tapi juga bisa melukai kalau tidak digunakan dengan benar,” ujarnya.
Kepada anak muda, Istiana memberikan beberapa panduan agar AI tetap menjadi alat bantu yang aman. Pertama, pahami bahwa AI tidak bisa memberikan diagnosis yang dipersonalisasi, hanya gambaran umum berdasarkan pola teks.
Kedua, gunakan AI untuk mendapatkan awareness awal, bukan untuk memastikan diagnosis atau mencari solusi mendalam. Jika AI memberi gambaran bahwa kita mungkin mengalami kecemasan atau stres, langkah selanjutnya tetap harus mengonfirmasi dengan psikolog.
Ketiga, kenali tanda-tanda ketika kita mulai bergantung secara emosional pada AI, misalnya merasa lebih percaya pada AI daripada manusia, atau kehilangan kemampuan mengambil keputusan tanpa bantuan mesin.
“Kalau sudah sampai kehilangan critical thinking, atau terlalu sulit percaya manusia, mungkin harus step back dulu,” tuturnya.
AI boleh menjadi ruang aman untuk bercerita, tetapi tidak boleh menggantikan hubungan manusia yang sesungguhnya. Pada akhirnya, kesehatan mental tetap membutuhkan empati, observasi, dan kehadiran manusia. Ini merupakan hal-hal yang tidak akan pernah bisa digantikan sepenuhnya oleh teknologi.
Sumber : Bisnis
Baca juga : Luhut Panjaitan Curhat, Teringat Gus Dur







Comments