STARJOGJA.COM, Info – Bagi petani, hewan yang merayap di pematang dan menggerogoti padi muda adalah hama yang menghambat produksi padi. Hama bernama keong emas atau siput sawah (Pomacea canaliculata) ini membuat petani jengah dan tidak ingin ada di dalam sawahnya.
Mendapat fakta ini, Arif Reksa Pambudi mahasiswa Fakultas Hukum UMY mulai memikirkan bagaimana caranya agar hama ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi petani. Ia pun melakukan penelitian, turun ke
lapangan untuk mengujinya dan kembali ke laboratorium.
Setelah beberapa kali konsultasi dengan dosen, akhirnya muncul formulasi pupuk organik untuk produktivitas padi. Ia pun mendirikan perusahaan
rintisan berbasis mahasiswa sebagai founder dan CEO bernama Agriverse Indonesia.
“Dari tahun kemarin, tahun 2024, kami uji coba kan, uji coba lab, kami formulasikan berbagai kali percobaan-percobaan, akhirnya ketemulah itu
waktu uji coba lahan, dapat meningkatkan produktivitas padi sampai 10 persen. Jadi per 5.000 meter persegi atau setengah hektare itu, panennya sekitaran di 5.800 jadi 6.100, itu kira- kira 10 persen,” katanya kepada Star FM Sabtu (13/12/2025).
Mungkin angkanya terlihat kecil, tapi bagi petani, selisih itu terasa sekali dan dapat menutup biaya tanam atau kebutuhan rumah tangga. Mahasiswa
Fakultas Hukum UMY ini bersama tim, berkolaborasi dengan salah satu formulator pupuk di Sleman membuat dua produk pertanian, yaitu
Pupuk Organik Cair (POC) Keong Emas (KOMA) dan biosoil. Melalui produk itu, lahan pertanian nantinya kaya akan unsur hara Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg) atau dolomit, agar transformasi antara lahan kimia dan organik ini dapat mudah diolah.
” Dalam tahap mulai dari pengumpulan bahan baku, kemudian kami giling dengan bahan-bahan baku, formulasi tambahan, dan lain sebagainya. Itu kemudian kami fermentasi selama kurang lebih, paling maksimalnya itu satu bulan. Itu sudah menjadi bubuk organik yang kaya akan nutrisi,” katanya.
Produk itu kini sudah dijual dengan harga yang sangat terjangkau yaitu Rp39.000 per liter. Pemakaiannya per satu tutup botol untuk lima liter air dengan durasi semprot satu minggu satu kali semprot.
“Itu formulasi kami, itu kan pupuk premium, jadi itu bisa untuk segala jenis tanaman, cuman memang kami formulasikan lebih untuk padi. Kalau untuk kandungan dari, untuk seluruh tanaman tidak hanya padi itu insya Allah sudah mencukupi, sudah memadai,” kata Arif.
Arif yang merupakan Duta Petani Muda (Young Agriculture Ambassador) 2025 dari Kementerian Pertanian ini, mengimplementasikan hasil penelitian dan uji cobanya ke desa binaan seperti di Dukuh Glagahombo, Pondokrejo, Tempel, Sleman, lalu di Serumbung, Magelang dan di Lereng Gunung Andong, Magelang. Tidak hanya itu ia juga berkolaborasi dengan beberapa
produsen, beberapa Gapoktan, petani, dan Dinas Pertanian Kabupaten Sleman.
“Kami juga ingin membantu masyarakat dalam mempermudah budaya tanaman padi, karena kan juga penghasilan utama mereka di sana. Jadi,
bagaimana kita mengangkat kesejahteraan masyarakat di sana, dan bagaimana kita bisa menjadi solusi dari masalah, menjadi manfaat
yang dapat mereka rasakan kembali,” kata Arif.
Arif yang juga terpilih menjadi Google Student Ambassador ini mengaku senang dengan sambutan baik dari dinas terkait soal inovasi dan pengembangannya. Namun yang terpenting baginya, adalah dapat membantu masyarakat dalam mengakses ketersediaan pupuk.
“Nah kami itu telah mendistribusikan secara cuma-cuma, memberikan ke petani-petani itu sangatlah banyak. Jadi waktu research and development, kemudian waktu bagi-bagi pupuk, itu tuh bisa lebih dari 50 yang telah kami
kebagikan. Itu kalau 50, sepertinya lebih,” katanya.
Semangat berbagi ini menurutnya tidak akan membuat usaha rintisan ini hancur. Namun ia percaya justru semangat berbagi ini akan terus menaikkan level dari Agriverse Indonesia.
” Itu mungkin juga pesan dari senior-senior, dari guru-guru kami kan. Nek berbuat apik ora ono rugine (berbuat baik itu tidak ada ruginya). Nah
jadi kami terus berdayakan masyarakat, terus menyebarluaskan kebaikan,” kata Arif.
Arif mengatakan agriverse tidak tumbuh dari ruang presentasi semata, namun turun langsung ke lapangan dengan riset dan pengembangan,
pengujian produk langsung di lahan, mengevaluasi setiap musim tanam dan
memperbaikinya.
Setiap kali membagikan pupuk, petani hampir selalu menanyakan cara pemakaian. Di akhir percakapan, sering kali disusul doa singkat agar
usaha Arief dan timnya lancar. Bagi Arief, momen itu menjadi penanda bahwa risetnya tidak berhenti di laboratorium.
Pendekatan ini menjadi pembeda ketika Agriverse mengikuti berbagai kompetisi bisnis plan. Mereka datang bukan hanya dengan konsep, tetapi
dengan produk nyata, data lapangan, dan testimoni petani.
Hasilnya, Agriverse menjuarai sejumlah kompetisi tingkat nasional dan internasional. Mereka memperoleh pendanaan dari Kemendikti Saintek,
tambahan dana dari kampus, serta lolos hingga ajang KMI Expo.
“Ya itu kenapa juga kami dapat melengserkan kompetitor lainnya, karena memang mereka kurang siap di sana. Jadi mereka hanya sekedar
business plan, angan-angan dengan idealisnya mereka, menyusun dengan bantuan AI mungkin dan lain sebagainya, itu yang membuat mereka
tidak tahu fakta di lapangan seperti apa. Sedangkan kami sudah turun, kami juga benar- benar bikin produknya,” ujar Arief.
Sebagai anak petani, Arif ia menyoroti krisis regenerasi petani yang kini rata-rata usia petani Indonesia berada di atas 50 tahun. Anak muda, menurutnya, masih terjebak pada stigma lama bahwa pertanian identik dengan pekerjaan kotor, miskin, dan tidak menjanjikan.
“Karena di bidang pertanian ini kan enggak ada habisnya dan akan terus berkembang sampai beberapa tahun ke depan, karena juga menyangkut kebutuhan primer masyarakat sekitar,” katanya.
“Kita yang para generasi muda ini kan kita yang bisa menghubungkan antara desa ke kota, antara desa ke teknologi dan lain sebagainya. Itu juga yang terus saya suarakan di forum-forum besar, ayolah sekarang itu pertanian itu sudah enggak kotor.”
Ia pun sudah merencanakan ke depan akan terus mengembangkan inovasi di dunia pertanian terutama mengembangkan produk untuk komoditas hortikultura. Menurutnya jika kolaborasi terus digalakkan dan sinergi dari
seluruh pihak baik pemerintah, industri dan masyarakat maka tidak sampai lima tahun inovasi pertanian di Indonesia ada di level berbeda.
Terjalinnya kolaborasi itu termasuk di dunia industri maka semakin mempercepat inovasi modern di dunia pertanian Indonesia.
“Kita kan sebagai pembantu masyarakat untuk menanggulangi hama sebenarnya. Jadi, kita tidak ada maksud untuk menyaingi ataupun menjadi
kompetitor dari pupuk Indonesia, pupuk Kaltim dan lain sebagainya. Itu kita tidak ada, namun di sana kita sebatas membantu masyarakat sekitar
untuk mengolah bagaimana permasalahan hama ini bisa terselesaikan tapi menjadi solusi,” katanya.
Arief Reksa Pambudi yang memiliki bisnis inovasi salak menjadi anomali yang penting. Bukan karena usianya yang masuk kategori gen z, melainkan karena pilihannya untuk tetap tinggal dan bekerja di pertanian, ketika banyak seusianya memilih menjauh.
Baca juga : Pemkab Sleman Memulai Petani Milenial






Comments