STARJOGJA.COM.SURABAYA. Dosen UNAIR Apresiasi Penetapan Hari Keris Nasional sebagai Upaya Pelestarian Budaya.
Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, secara resmi menetapkan tanggal 19 April sebagai Hari Keris Nasional pada Senin (21/4/2025).
Penetapan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam melestarikan warisan budaya nasional yang sarat nilai historis, artistik, dan spiritual.
Langkah tersebut mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, salah satunya dari PujiKaryanto SS MHum , Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR).
Ia menilai penetapan Hari Keris Nasional merupakan bentuk penghargaan terhadap keris sebagai identitas budaya bangsa.
“Penetapan Hari Keris oleh pemerintah sangat perlu diapresiasi mengingat sejak 25 November 2005 keris sudah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO,” katanya.
Sejarah Perkembangan Keris
Keris telah eksis sejak masa prasejarah di Nusantara, awalnya berfungsi sebagai senjata tikam untuk mempertahankan diri sekaligus menaklukkan alam sekitar. Seiring perkembangan zaman, keris tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat bela diri. Puji menyebut perubahan zaman membawa transformasi fungsi keris menjadi simbol budaya yang lebih kompleks.
“Dalam perkembangannya diketahui bahwa keris bukan sekadar sebagai senjata, tetapi juga dipakai sebagai pelengkap busana adat serta sebagai pusaka yang dikeramatkan sakralitasnya oleh para pemiliknya,” ujar Puji.
Pakar budaya itu mengungkapkan bahwa bentuk dan karakteristik keris pun bervariasi, tergantung pada tujuan pembuatannya.
“Keris yang dipakai sekedar sebagai aksesoris atau suvenir yang dibuat para pengrajin tentu memiliki nilai dan harga yang sangat berbeda jika
dibandingkan dengan keris yang berfungsi sebagai pusaka sakral yang dibuat para empu keris,” tambahnya.
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Lebih lanjut, Puji mengatakan bahwa eksistensi keris di tengah masyarakat modern menghadapi berbagai tantangan serius. Puji menilai perubahan budaya di tingkat nasional, regional, hingga global, telah mengubah cara pandang masyarakat terhadap keris. Banyak
pihak yang mulai menganggap keris tidak relevan dengan dinamika kebutuhan hidup masa kini.
“Cara pandang yang salah terkait eksistensi keris yang sering dipandang berhubungan dengan keyakinan tradisional yang dianggap menjadi ancaman bagi keberadaan narasi keagamaan juga merupakan tantangan yang tidak mudah disamakan persepsinya,” ucap Puji.
Untuk itu, Puji menekankan pentingnya sinergi antara pemangku kepentingan dalam menjaga kelestarian keris.
“Tentu saja sangat dibutuhkan kolaborasi yang intens antara pemangku kepentingan untuk merevitalisasi dan menguatkan eksistensi keris. Pembinaan terhadap pengrajin keris, komunikasi dengan para empu keris, pengamat keris, pelaku industri pariwisata, dan dinas terkait sangat diperlukan sebagai salah satu pengejawantahan implementasi UU Nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan,” terangnya.
Dalam hal ini, Puji berharap para pemangku kepentingan menemukan cara strategis untuk menjadikan keris tetap relevan di era modern. Selain itu, ia juga mengajak generasi muda berperan aktif dalam upaya pelestarian keris ini.
“Generasi muda sebaiknya tidak sekedar memahami penetapan hari keris dalam konteks seremonial, tetapi juga harus berusaha memahami latar belakang di balik penetapan 19 April sebagai hari keris nasional. Dengan demikian, kecintaan generasi muda terhadap keris juga akan semakin meningkat agar jangan sampai keris akan lebih terlihat eksistensinya di negeri-negeri tetangga,” tutup Puji.
Comments