STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Apa yang spontan muncul dibenak anda, begitu mendengar kata atau membaca tulisan RADIO. Akankah bayangan anda tertuju pada sebuah benda kotak, dengan antena di sudut belakang yang bisa dipanjang pendek-kan, kemudian kotak itu di hiasi beberapa tonjolan yang bisa diputar-putar? Jika iya, maka anda adalah orang yang memaknai radio, sebagai sebuah benda. Namun ada yang lebih penting lagi. Anda juga terdeteksi masuk dalam generasi tertentu, karena benda yang ada di pikiran anda tadi adalah potret bentuk radio di era jaman dahulu. Nah, yang akan saya bahas ini nanti adalah kurang lebih sama. Mengenai fenomena radio, di 80-awal hingga 90an. Dimana di era itu, radio yang paling umum dipunyai dan yang paling terjangkau dibeli, ya berbentuk seperti gambaran tadi.
Radio, teman di Era 80an hingga awal 90an
Dijaman dahulu, sebelum ada perangkat modern dan teknologi mutakhir seperti halnya : multi media player, TV kabel, Internet, dan HP, radio adalah benda yang sangat berharga. Khususnya, radio adalah satu-satu nya teman bagi siapa saja yang masih melek di atas jam 12 malam. Memang sangat sedikit pilihan channel nya. Anda hanya bisa dengarkan siaran RRI, dan radio non RRI yang kebetulan memutar siaran wayang semalam suntuk, atau jenis siaran tradisional semacam, yang berdurasi panjang. Dahulu di era 80an, untuk menemani aktifitas dinihari hingga menjelang subuh, ya hanya radio. Menemani bapak-bapak yang tugas ronda, sekuriti, penjaga palang pintu kereta, warung kopi di rumah sakit dan terminal, hingga gerobak bakmi thik thok yang didorong keluar masuk pemukiman warga.
Semua itu mengandalkan Radio sebagai teman. Bahkan ada ungkapan dijaman dahulu yang bunyinya: “turu ra turu sik penting nyetel radio” atau dalam bahasa Indonesia nya: “tidur atau tidak tidur, yang penting menghidupkan radio”. Yaa… itu benar, karena walaupun tujuan semula berniat sebagai teman melek hingga pagi, namun radio pada akhirnya justru menjadi pengantar tidur hingga pagi. Semua nikmat, punya perannya sendiri, dan ada sensasi tersendiri juga.
Kembali memaknai radio sebagai teman. Untuk yang diharuskan melek di waktu malam hingga subuh menjelang, dan terutama yang sendirian, biasanya lebih senang mendengarkan obrolan atau yang sifatnya lebih banyak suara penyiar dari pada musik atau bentuk lainnya. Alasannya masuk akal. Dengan mendengarkan obrolan, ibaratnya seperti ditemani seseorang, atau seperti ada teman yang turut melek. Jadi lebih merasa ada sosok teman yang berada didekatnya. Apalagi jika harus melek sendiri ditempat yang sepi dan sedikit menakutkan, makna teman disini bisa sangat berarti.
Lain cerita bagi mereka yang kesibukannya sebagai sopir. Mereka berjam-jam hanya sendirian saja didalam kendaraannya. Bayangkan saja rasa jenuh dan bosan saat melakukan perjalanan. Mungkin tape mobil sudah tersedia. Namun kaset tetap saja tidak berisi obrolan suara orang. Kalaupun sudah membawa rekaman kaset jenis percakapan, seperti lawak maupun sandiwara, lama kelamaan sudah hafal isinya dan tidak variatif. Beda dengan radio. Si sopir tidak merasa bosan dan hafal. Sopir tidak akan bisa tau apa yang nanti akan dikatakan dan diobrolkan. Termasuk jika yang disiarkan adalah musik.
Namun, jika mendengarkan radio didalam kendaraan, kendalanya hanya satu. Saat sudah melewati atau melebihi jangkauan atau daya pancar siaran radio. Mau tak mau ya harus menggunakan tape sebagai gantinya.
Kemudian, lain lagi dengan mas dan mbak yang ingin belajar atau membuat tugas dan PR hingga larut malam model lek-lekan. Hampir sama kedudukannya. Radio hadir sebagai teman membunuh sepi, dan sebagai pencegah rasa kantuk. Namun terkadang ada yang unik, walau ini sedikit melenceng dari sudut pandang yang baru dibahas. Ternyata ada yang hanya karena semata-mata ingin mendengarkan siaran radio hingga larut malam, harus rela bersandiwara dengan mengaku sedang belajar atau buat tugas. Dan supaya meyakinkan, drama ini pun dilengkapi pula dengan segala atribut pendukung seperti buku, dsb. Jika ditegur mengapa masih melek dan malah dengarkan radio, maka jelas alasannya.
Ketertarikan serta keterikatan orang terhadap radio sebagai teman yang sangat menghibur, menyebabkan apapun dilakukan demi terus bisa megikuti acaranya, apalagi jika ada acara favorit. Nah, jika sudah begitu, siapapun yang punya jenis radio, yang sumber dayanya tidak bisa melalui listrik, tentu sangat bergantung pada yang namanya batere. Batere adalah segalanya. Tanpa batere berarti jauh dari hiburan. Tanpa batere, ngalamat sepi tak berteman. Jika batere habis dan kebetulan berada ditanggal tua, terpaksa harus menjemur batere selama beberapa jam untuk sedikit mengisi daya-nya. Ini terbukti ampuh.
Sebagai teman, radio juga berjasa untuk siapa saja dan dimana saja. Termasuk yang ingin melakukan hajat panggilan alam di kamar kecil. Ini juga sensasi tersendiri. Sambil mendengarkan lagu atau acara favorit, tetap bisa melakukan kegitan privat tersebut. Karena radio bisa dibawa kemana-mana, maka diapun setia menemani si empunya kemana saja, termasuk diruang privat melakukan hajat besar itu tadi. Demikian pula jika ingin mandi, mencuci, dsb. Radio ikut setia menemani. Belum lagi jika keluarga atau pasangan yang sedang dimabuk cinta ingin pergi piknik. Sepertinya tidak lengkap rasanya kalau tidak membawa radio. Bisa nyantai, menikmati alam, menyantap bekal, sambil diiringi suara radio. Sempurna dan Bahagia.
Sebagai media kedua setelah TV yang begitu di andalkan di era 80-awal hingga 90an, radio juga menjadi teman khusus bagi golongan usia tua 50 keatas. Mereka biasanya lebih memilih acara tertentu yang bernuansakan tradisi, seperti wayang, klenengan, kethoprak, dan acara serupa. Walau tidak semua pendengar acara itu adalah orang tua, namun pendengar yang butuh teman di jam-jam larut malam adalah kebanyakan dari golongan orang tua dan aki -aki. Biasanya mereka ini terjaga dari tidur malam di waktu dini hari, kemudian melanjutkan dengan mendengarkan radio hingga subuh.
Oke, sepertinya itu beberapa fenomena radio dan pendengarnya dijaman dulu, di era 80an hingga awal 90an. Berhubung ini juga sudah larut malam, saya akan siap-siap istirahat. Seperti biasa, saya akan menyajak teman, yang sudah menemani bertahun-tahun jika malam mulai larut. Karena saya juga termasuk orang yang menganut faham…“turu ra turu.. sik penting nyetel radio”.
Comments